Memahami Reklamasi Teluk Jakarta

December 27, 2017

Reklamasi adalah pengurukan kawasan air dengan tanah hingga menjadi daratan yang bisa digunakan sebagai lahan untuk berbagai keperluan, seperti kompleks perumahan, perkantoran, atau tempat wisata.

Reklamasi di bagian Utara Jakarta sudah mulai pada 1980-an. PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.

Dalam catatan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi pada 1981.

Hutan bakau Kapuk yang direklamasi sepuluh tahun kemudian untuk pemukiman mewah yang kini disebut Pantai Indah Kapuk. Jakarta mereklamasi buat kepentingan industri yakni Kawasan Berikat Marunda pada 1995.

Gubernur DKI Jakarta waktu itu Wiyogo Atmodarminto menyatakan, reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.

Pada 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan yang menjadi dasar reklamasi, Keppres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Dua tahun kemudian, Bappenas menggeluarkan Keputusan Ketua Bappenas No. KEP.920/KET/10/1997 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.

Tahun 2010, terbentuk Persetujuan KLHS Teluk Jakarta oleh Kementerian LH dan disepakati oleh tiga Provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup memutuskan proyek reklamasi ini tak layak.

Pada 2011, para pengembang di calon lahan reklamasi memenangkan gugatan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Sejak 2012, proyek ini berjalan lancar. Ada 17 pulau yang akan dibangun, mulai dari pulau A hingga Q. Tiga kawasan akan membagi pulau ini Kawasan barat untuk pemukiman dan wisata. Kawasan tengah untuk perdagangan jasa dan komersial. Sedang kawasan timur untuk distribusi barang, pelabuhan, dan pergudangan. Proyek reklamasi besutan dari Orde Baru ini dinilai membahayakan dan merugikan oleh pegiat lingkungan.

Lalu, Kalau membahayakan, kenapa tak digugat secara hukum?

Proyek reklamasi sudah keluar masuk meja hijau. Pada 2003, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menerbitkan keputusan Keputusan Menteri No. 14/2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Isinya menentang keputusan reklamasi.

Keputusan Nabiel ditentang sejumlah pengusaha yang mendapat hak bagian dalam reklamasi. Mereka mengugat ke PTUN dan PT TUN Jakarta. Hasilnya, mereka menang. Tapi Menteri Lingkungan Hidup tetap melawan.

Pada Pada 28 Juli 2008, lewat sidang kasasi, MA memenangkan kementerian. Tapi para pengusaha itu mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Hasilnya, pada 24 Maret 2011, majelis hakim PK yang diketuai Ahmad Sukardja, memenangkan para pengusaha.

Proyek ini kembali berjalan saat Jakarta dipimpin Gubernur Fauzi Bowo. Pada 2012, Gubernur Fauzi Bowo mengeluarkan Pergub No. 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.

Dalam sidang Peninjauan Kembali, pertimbangan majelis hakim memenangkan para pengusaha adalah perubahan dan penghentian reklamasi harus dengan Keputusan Presiden, bukan dengan Keputusan Menteri.

Pihak yang berwenang menghentikan dan meneruskan reklamasi adalah presiden. Karena, sejak awal proyek ini berbasis pada Keputusan Presiden. Gubernur, tak bisa membatalkan keputusan presiden.
________________
Foto diambil dari akun Instagram @nurkholis.image
________________
Disadur oleh Tim GeoEnsiklopedia dari :
1. http://beritagar.id
________________
Cintai Mahakarya Nusantara
#geonusantara
#geoensiklopedia
#geo0255uber

Perang Perayaan Musim Panen Sumba

Demi Emas di Papua, CIA Gulingkan Soekarno dan Kennedy

Kenapa Semua Fotografer Harus Mempunyai Lensa 50 mm